.... SELAMAT DATANG KEMBALI DI BLOG .... GUNAWAN || SALAM SAHABAT - SAHABAT SEMUA ||.....

TRANSLATE YOU'R LANGUAGE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

SOLUSI KENAIKAN HARGA PANGAN POKOK

Laju kenaikan harga pangan pokok tahun 2010 ini mulai terasa pada bulan Juni, melonjak tinggi pada bulan Juli dan diperkirakan masih akan bertahan tinggi pada bulan Agustus-September 2010. Sesuatu yang cukup jelas adalah bahwa rekor laju inflasi 1,57 persen pada bulan Juli 2010 membuat waswas karena laju inflasi kumulatif selama tujuh bulan pertama telah mencapai 4,02 persen. Pemerintah menargetkan laju inflasi tahun 2010 sebesar 6 persen, yang hampir pasti akan terlampaui karena laju inflasi bulanan pada Agustus dan September diperkirakan masih akan tinggi.


Laporan bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) tanggal 5 Agustus 2010 mencatat harga rata-rata beras (kualitas premium) pada bulan Juli sebesar Rp 8.037 per kilogram, naik 5,74 persen dibandingkan bulan Juni 2010, atau naik 21,04 persen dibandingkan harga beras pada Juli 2009. Kenaikan harga cabe rawit pada Juli 2010 juga sangat tinggi, yaitu mencapai 34,29 persen, harga cabe merah naik 24,73 persen, harga dagin ayam ras naik 11,28 persen, harga telur ayam ras naik 9,97 persen, ikan kembung naik 2,15 persen, dan harga gula pasir naik 1,37 persen.


Beberapa harga pangan juga mengalami kenaikan walaupun tidak terlalu signifikan, sehingga tidak menjadi kontributor nyata pada laju inflasi bulan Juli 2010. Namun, hal yang harus diperhatikan adalah pada bulan Agustus ini, ekalasi harga-harga pangan tersebut belum akan menurun karena beberapa determinan utama kenaikan harga tersebut belum berhasil diidentifikasi dan dipecahkan.


Artikel berikut mencoba mengidentifikasi beberapa faktor pemicu kenaikan harga pangan tersebut, sekaligus memberikan tawaran solusi yang mungkin berguna agar dampak kenaikan harga pada masa mendatang tidak memberikan dampak yang merugikan dan meresahkan masyarakat.
                                                                                   ****
Faktor pertama pemicu kenaikan harga pangan kali ini adalah bertemunya dorongan permintaan dan ”ekspektasi positif” kenaikan harga karena laju konsumsi yang memang tinggi. Siapa pun paham bahwa pada bulan Juni-Juli harga pangan mengalami siklus kenaikan rutin, sebagaimana kenaikan rutin pada Desember-Januari setiap tahunnya.
Sesuatu yang sedikit berbeda adalah bahwa kenaikan harga pangan pada bulan Juli 2010 juga berhubungan dengan respons para pedagang terhadap ”ekspektasi positif” tradisi kenaikan harga karena beberapa faktor pemicu yang terjadi sejak akhir Juni atau awal Juli. Awal Juli seluruh pegawai negeri di Indonesia menerma gaji ke-13, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.Sumber


Pada awal Juli 2010 itu, pemerintah mengumumkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sekitar 15-18 persen, walaupun di lapangan kenaikan aktual dapat mencapai 70 persen.  Walau pun kemudian kenaikan TDL itu direvisi – sehingga secara riil kenaikan hanya berkisar 7 persen, namun ”ekspektasi positif” kenaikan harga sudah terlanjur terbentuk dan mempengaruhi psikologi pedagang dan masyarakat umum.


Apalagi fenomena kenaikan hargha pangan tersebut terjadi menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang secara tradisi selalu diikuti kenaikan harga pangan pokok.  Pada sisi lain, kecenderungan kenaikan konsumsi yang memicu kenaikan harga pada bulan Ramadan mungkin perlu dibahas secara moral dan ilmu agama. Umat Muslim yang diperintahkan untuk mengurangi konsumsi pangan pada bulan Ramadan justru cenderung mengkonsumsi lebih banyak pangan pokok dan pernak-pernik pangan lain sampai Idul Fitri tiba. 


Solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam faktor ekspektasi positif ini mungkin bisa diharapkan dari opesari pasar dan pelaksanaan pasar murah di beberapa titik konsumsi di seluruh Indonesia. Pemerintah berencana akan melaksanakan pasar murah serentak di 50 titik konsumsi atau kota besar di seluruh Indonesia. Operasi pasar seperti ini dapat bermanfaat untuk mengendalikan faktor psikologis pasar yang dipicu oleh ”ekspektasi positif” seperti disebutkan di atas, agar kenaikan harga pangan tidak terjadi secara permanen.


Pada saat operasi pasar murah, pemerintah dapat menyampaikan pesan kepada spekulan tentang keseriusan upayanya dalam menjaga stabilisasi harga pangan pokok.  Sasaran pasar murah dapat dibagi mejadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat umum dan konsumen di kota besar, yang telah demikian berat harus menanggung kenaikan harga pangan secara bersamaan.


Kelompok kedua adalah masyarakat miskin yang hidup di kantong-kantong kemiskinan di perkotaan (dan perdesaan). Sasaran pasar murah bagi kelompok kedua ini hanya akan efektif apabila dilaksanakan secara terpadu dengan tingkatan pemerintah yang paling bawah, dalam hal ini Kepala Desa, beserta aparat Rukun Warga dan Rukun Tetangga, yang seharusnya memiliki informasi lengkap tentang status warga miskin di wilayah kerjanya.
                                                                                ****
Faktor kedua pemicu kenaikan harga pangan adalah kinerja pasokan yang sedikit terganggu, walau pemerintah berkali-kali membantah bahwa pasokan pangan aman dan terkendali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi banyak rusak. Beberapa media nasional dan daerah melaporkan rusaknya jalan di beberapa ruas di Pantai Utara Jawa, buruknya jalan Lintas Tengah dan Lintas Timur di Sumatera, sebagai dua poros utama jalru distribusi pangan.


Sebagaimana diketahui, aktivitas ekonomi di Pulau Jawa dan Sumatra merupakan 84 persen penyumbang terhadap kinerja ekonomi nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Betapa besar dan dahsyatnya apabila sarana infrastruktur di Jawa dan Sumatra terganggu. Dampak buruk yang ditimbulkannya tidak hanya ditanggung konsumen di perkotaan, tetapi juga harus ditanggung oleh petani di pelosok perdesaan.  Kenaikan harga pangan kali ini sedikit sekali yang dapat dinikmati petani karena persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen.


Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi faktor produksi dan distribusi ini adalah peningkatan produksi pangan dan pertanian yang diikuti dengan perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur vital, terutama jalan negara sampai jalan desa. Peningkatan produktivitas pangan (per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja) wajib menjadi acuan strategi kebijakan, karena Indonesia tidak dapat mengandalkan cara-cara konvensional dan sistem budidaya yang telah diadopsi selama 40 dekade terakhir.


Pada aspek distribusi, selain upaya pemberantasan atau pengurangan pungutan resmi dan tidak resmi terhadap perdagangan komoditas pangan, perbaikan jaringan jalan dan infrastruktur vital lain menjadi sesuatu yang hampir mutlak. Rencana perbaikan jalan negara, jalan provinsi, kabupaten, sampai pada jalan desa dan jalan produksi usahatani, wajib segera diwujudkan. Masa-masa mudik menjelang lebaran adalah momentum yang tepat untuk segera merealisasikan tender beberapa proyek infrastruktur yang tertunda karena menunda kepastian pengesahan Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).


Kenyataan di lapangan, walaupun APBN-P tersebut telah disahkan, para aparat birokrasi yang terlalu hati-hati masih sering memberikan alasan yang sulit diterima akal sehat untuk tidak segera merealisasikan proyek infrastruktur yang terbengkalai. Misalnya, mereka berargumen masih menunggu kepastian pembiayaan beberapa tahun (multi-years) yang akan ditetapkan pada APBN 2011 mendatang. Maksudnya, para pemimpin di tingkat pusat dan daerah wajib memberikan pengarahan kepada staf dan anak-buah agar segera memberikan prioritas perbaikan sekian macam infrastruktur ekonomi sangat vital itu. Tindakan tegas terhadap mereka yang melakukan harus dibuat.
                                                                                  ****
Faktor ketiga yang memicu kenaikan harga pangan adalah perubahan iklim atau tepatnya musim kemarau basah yang diperkirakan masih akan berlangsung sampai November 2010. Gangguan produksi memang tidak terlihat pada musim panen raya padi April-Mei lalu, walaupun hal itu tidak berarti bahwa kualitas gabah akan lebih baik karena musim panen yang basah akan selalu meningkatkan butir mengapur dan derajat patah yang semakin tinggi. Akibat berikutnya, petani tidak menerima harga jual gabah yang layak, walaupun sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan harga jual gabah tahun-tahun sebelumnya.


Dengan harga faktor produksi yang juga ikut meningkat, maka tingkat keuntungan relatif petani padi di Indonesia juga tidaklah terlalu tinggi. Demikian pula, rendahnya pasokan cabe dan produk hortikultura lain juga ikut memicu eskalasi harga komoditas penting bagi konsumsi rumah tangga dan industri kuliner Indonesia. Ancaman fenomena bulan basah La Nina masih akan mengganggu dan meningkatkan harga eceran pangan pokok pada siklus panen raya tahun 2011, sehingga Indonesia wajib melakukan analisis penilaian risiko (risk assessment)  terhadap perubahan-perubahan yang disebabkan faktor eksternal tersebut.


Analisis serupa juga wajib dilakuka terhadap beberapa komoditas pangan Indonesia yang berasal dari impor, terutama gandum, karena beberapa negara produsen gandum di Eropa Timur mengalami gangguan musim kemarau yang diperkirakan mengurangi produksi dan cadangan gandum dunia secara signifikan.


Solusi yang dapat ditawarkan untuk menanggulangi faktor perubahan iklim ini memang tidak ada yang berdimensi jangka pendek, karena proses adaptasi dan mitigasi memerlukan waktu dan proses penyesuaian yang relatif lama. Namun demikian, strategi penguatan cadangan pangan di tingkat pusat melalui Perum Bulog, serta di daerah melalui divisi regional dan sub-regional di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dijadikan langkah penting dalam jangka menengah.


Paling tidak, untuk menjaga tingkat aman dan stabilitas harga pangan yang lebih berkelanjutan, cadangan beras yang dikuasai Bulog harus di atas 1,5 juta ton atau lebih. Cadangan beras pemerintah (CBP) di bawah 1 juta ton bukan angka yang aman dalam mengantisipasi eskalasi harga pangan pokok. Artinya, penanggulangan lonjakan harga pangan ini memerlukan kombinasi solusi jitu pada tingkat keputusan politik dengan presisi tinggi pada tingkat teknis ekonomis. Persoalan pangan dan kebutuhan pokok lain bukan ajang eksperimen pencitraan para pemimpin, tetapi merupakan uji kepatutan dan hati nurani kaum elit di negeri ini yang pantas disebut negarawan dan hamba Allah yang beriman.


Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan ekonom senior INDEF Jakarta   

1 komentar:

ANAK KREATIF mengatakan...

kata siapa :))

Comment My Friends

kamera Pictures, Images and Photos
oN Cam
Make Your Own by gunawanurcholis